Posts

Bertemu

4 Januari 2017 21.10 . "Aku sudah di jalan," tulisku dalam pesan singkat. Malam ini, usai membelah ibukota untuk bekerja, aku langsung menuju tempat favoritmu. . Setelah sejak tiga hari lalu kamu merengek meminta bertemu. Kamu mengancam akan ngambek kalau hari ini aku tak juga penuhi maumu. . ***** Pekerjaan memang selalu menjadi prioritasmu. Bahkan untuk memenuhi pintaku bertemu saja, aku sampai harus merajuk selama tiga hari. Tega. . 21.41 . Asap mengebul dari cangkir kopi dihadapanmu. Lampu cafe ini juga tak terang. Wajahmu semakin samar kulihat. . Setelah menaruh cangkir kopiku, aku langsung duduk di sebelahmu. Mengambil tumpukan buku yang baru kamu beli. Kamu yang tengah membaca salah satu di antaranya hanya menoleh dan meraih tanganku. "Puas?" Kataku. . ***** Aku sudah melihat kedatanganmu dari sudut atas bukuku. Jeans, kemeja kotak-kotak dan topi andalanmu. Bagamana bisa aku tak mengenalinya. . Sesaat setelah kamu duduk dan merecoki buku

Prolog

Kamala. Setiap matahari bergegas pergi, dia pasti ada di sana, di manapun. Perempuan dengan rambut diikat ke belakang dan senang menyembunyikan jidatnya di dalam topi itu selalu memandang ke arah tak terbatas. Menikmati senja, katanya. Meski gurat senja yang ia tunggu tak selalu sesuai harapan, ia tetap akan di sana. Wajahnya bulat dan akan semakin bulat saat dia tersenyum. Jangan harap ada riasan di wajah seperti perempuan-perempuan lain di usianya. Tapi bagiku, dia cantik dengan kepolosannya itu. Hehe Selain mengantar matahari pulang, hobi lain Kamala, --iya Kamala yang sedari tadi ku ceritakan adalah mendengarkan. Apapun, ia suka mendengar segala hal. Musik, curhat teman-temannya, serta tentu saja cerita dan leluconku yang seringkali terlalu crispy. Hihi Kalian harus tahu, setelan wajahnya saat dia mengerjakan tugas mendengarnya. Dia akan melihat tepat di mata orang yang bercerita, menaruh tangannya di dagu untuk menopang wajahnya yang bulat itu. Seriusnya akan terga

GUGUR

Tak pernah kusangka kematian begitu cepat datang menjemputku. Tak juga pernah kuduga bahwa upayaku bertahan berakhir jua. Malam itu, tepat dua pekan sebelum peristiwa ini merenggut nyawaku, untuk pertama kalinya aku mendengar tangis seorang perempuan pecah. Tak biasanya dia menangis bagai dunianya runtuh seperti itu. Ya, aku tahu betul dia perempuan yang kuat selama ini. Tak pernah mau menangis, apalagi diperlihatkan pada kekasihnya. Tapi malam itu, hingga malam-malam lainnya, suara tangisnya kudengar jelas dari balik ruang aku tinggal. Sesekali dia juga merintih meminta tolong. Dua hari kemudian, "mungkin ini bisa membantumu," ujar sang kekasih sambil menyodorkan segelas alkohol. Aku tau itu, karena aku ahli menguping. Tanpa ragu, perempuan itu pun menegak habis dalam sekali waktu. Kemudian dilanjutkan dengan gelas-gelas lainnya. Sesak di dadaku mulai terasa. Aku tak tega, tapi aku harus bertahan. Kupikir, jika aku keluarpun, tak akan membantunya. Ternya

Pembawa Kesejukan di tengah Kota Metropolitan

Image
--> "Jadikan setiap tempat sebagai sekolah dan jadikan setiap orang sebagai guru." -Ki Hajar Dewantara- Lampu led dengan warna berubah-ubah menyorot satu dinding bertuliskan lima sila isi Pancasila yang ditulis menggunakan aksara jawa kuno, lengkap dengan ukiran kayu lambang negara Indonesia, Garuda Pancasila. Tepat di depannya, sepeda ontel hitam bertengger manis di panggung sederhana. Di sudut berbeda, meja kecil dan kursi diatur berjajar dekat kolam ikan. Gemericik air, hijau rumput dan deretan tanaman sukses membawa nuansa sejuk di teras rumah ini. Sebuah rumah tinggal dengan arsitektur khas tahun 80-an yang kini diubah menjadi rumah bagi semua orang. Wulangreh Omah Budaya. Meski bertajuk rumah budaya, Wulangreh bukan layaknya museum atau sekedar sebuah sanggar budaya. Rumah ini menaungi berbagai macam kegiatan serta dilengkapi restoran di pekarangan, gallery, dan penyewaan ruang pertemuan. Hangat dan unik menjadi first impression sa

Tritama Chaerani, Teman dari Toba

Image
"Mba, aku boleh duduk sini ya," ucap seorang perempuan dengan senyum menyungging maksimal di wajahnya. Tangannya menunjuk bangku kosong di sebelahku. Pasrah, aku mengangguk. Ya, aku memang selalu menghindari interaksi dengan orang. Apalagi di lingkungan baru dan di tengah orang-orang baru yang tak kukenal. Tak lama setelah menempatkan tubuhnya di bangku dan uplek dengan tas di pangkuannya, "masih nulis berita ya mba?" perempuan itu kembali bicara. Satu pertanyaan yang kemudian dilanjutkan dengan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Mulai dari kehidupan wartawan sampai tebak-tebakan umur. Melihat dia terus berupaya ngajak ngobrol, aku yang sedari tadi sengaja memasang headset, akhirnya melepas headsetku dan meladeninya bicara. Hm... Headset yang kupasang juga hanya hiasan, supaya ga diajak ngobrol orang. Tapi ternyata dia tetap bicara, jadi ya kuhargai. Setiap pertanyaan kujawab singkat, sesekali aku juga menyunggingkan senyum. "Dia semangat sekal

Irsyan dan Gadget Anti Mainstream

Image
Usianya yang masih belasan tak lantas membuatnya sama dengan remaja-remaja lainnya. Irsyan, 19 tahun mengaku tak pernah tertarik dengan telepon genggam berbasis android atau ios. "Handphone mah punya, tapi dikasihkeun adik. Enggak seru," jawabnya membuat saya takjub. Badannya tak terlalu kurus, namun juga tak gemuk. Kaos, jaket parasut yang dikaitkan di tas selempang kecil, celana jins dan sepatu lapangan menjadi bagian penampilannya. Tak ada yang aneh, tapi ada yang berbeda. Sebuah Handy Talkie (HT) menggantung di celananya. Pertemuan saya dengan Irsyan terjadi di Garut, Jawa Barat. Saat itu saya dan dua teman (Egi dan Agung) berencana trekking di Gunung Papandayan. Ayah Egi yang menghubungi Irsyan untuk memandu kami. Irsyan ternyata bergabung dengan Organisasi Amatir Radio Indonesia (ORARI), yang kebetulan juga diikuti ayah Egi. Singkat cerita, ia bersedia menemani kami. Mungkin karena itu ia dibekali HT. Irsyan termasuk supel, selama perjalanan, layaknya pemandu wi