GUGUR

Tak pernah kusangka kematian begitu cepat datang menjemputku. Tak juga pernah kuduga bahwa upayaku bertahan berakhir jua.

Malam itu, tepat dua pekan sebelum peristiwa ini merenggut nyawaku, untuk pertama kalinya aku mendengar tangis seorang perempuan pecah. Tak biasanya dia menangis bagai dunianya runtuh seperti itu. Ya, aku tahu betul dia perempuan yang kuat selama ini. Tak pernah mau menangis, apalagi diperlihatkan pada kekasihnya.

Tapi malam itu, hingga malam-malam lainnya, suara tangisnya kudengar jelas dari balik ruang aku tinggal. Sesekali dia juga merintih meminta tolong.

Dua hari kemudian, "mungkin ini bisa membantumu," ujar sang kekasih sambil menyodorkan segelas alkohol. Aku tau itu, karena aku ahli menguping. Tanpa ragu, perempuan itu pun menegak habis dalam sekali waktu. Kemudian dilanjutkan dengan gelas-gelas lainnya.

Sesak di dadaku mulai terasa. Aku tak tega, tapi aku harus bertahan. Kupikir, jika aku keluarpun, tak akan membantunya.

Ternyata sebotol alkohol tak mampu menyelesaikan masalah si perempuan. Hari berikutnya, kekasihnya kembali datang membawa beberapa butir obat. Kali ini aku tak bisa menebak obat seperti apa yang dibawanya. Yang kudengar, sang kekasih membeli obat khusus itu dengan harga fantastis dan dijamin bisa menolong si perempuan.

Tiga kali percobaan, masih gagal. Tangis itu masih kudengar. Semakin hari, suranya semakin putus asa rasanya.

Sampai pada satu malam, si perempuan mendatangiku. Dari balik dinding ruangku ia berkata, "terima kasih sudah tumbuh kuat, tapi maaf aku tak bisa," tangisnya pecah lagi. Lebih keras dari biasanya.

Alkohol, obat-obat keras, semua berhasil kulawan. Tapi tidak dengan gunting dan pisau operasi. Aku menyerah. Demi si perempuan, ibuku. Dan kekasihnya, ayahku.


Jakarta, 31 Juli 2019

Comments

Popular posts from this blog

AKU DAN MEREKA :D