Pembawa Kesejukan di tengah Kota Metropolitan
"Jadikan
setiap tempat sebagai sekolah dan jadikan setiap orang sebagai guru." -Ki
Hajar Dewantara-
Lampu led
dengan warna berubah-ubah menyorot satu dinding bertuliskan lima sila isi
Pancasila yang ditulis menggunakan aksara jawa kuno, lengkap dengan ukiran kayu
lambang negara Indonesia, Garuda Pancasila. Tepat di depannya, sepeda ontel
hitam bertengger manis di panggung sederhana.
Di sudut
berbeda, meja kecil dan kursi diatur berjajar dekat kolam ikan. Gemericik air,
hijau rumput dan deretan tanaman sukses membawa nuansa sejuk di teras rumah
ini. Sebuah rumah tinggal dengan arsitektur khas tahun 80-an yang kini diubah
menjadi rumah bagi semua orang.
Wulangreh
Omah Budaya. Meski bertajuk rumah budaya, Wulangreh bukan layaknya museum atau
sekedar sebuah sanggar budaya. Rumah ini menaungi berbagai macam kegiatan serta
dilengkapi restoran di pekarangan, gallery, dan penyewaan ruang pertemuan.
Hangat dan
unik menjadi first impression saya masuk rumah ini. Ambiencenya yang tenang
bahkan bisa membuat saya lupa sedang berada di tengah hiruk pikuk kota Jakarta.
Senyum ramah warga Wulangreh membawa suasana seperti sedang berkunjung ke rumah
teman lama di kampung halaman.
Nama
Wulangreh sendiri diambil dari serat Wulangreh karya Pakubuwono IV yang secara
garis besar berarti pembawa kesejukan. "Nama ini kami dapat dari Ki Sinung
yang sempat mengisi kelas filsafat Jawa di kedai kami sebelumnya," ujar
Anda Wardhana, Pamong di rumah ini yang kemudian saya panggil dengan sapaan mas
Anda.
Mas Anda
menuturkan, berdirinya Wulangreh berawal dari Kedai Beto, sebuah kedai kecil
yang ia buka bersama rekannya, Ajeng. Saat itu, mereka juga bekerja sama dengan
Keluarga besar Griya Patria, yayasan yang menaungi SLB, SMK & akademi
pariwisata Patria. "Dari kedai itu kami Memulai membuat kelas aksara jawa,
dan filsafat jawa hingga workshop per-kainan," tuturnya.
Tujuannya,
memberikan alternatif kelas mingguan bagi warga Jakarta yang ingin belajar
budaya tanpa harus terikat dengan institusi formal. Tak disangka, peminatnya
cukup besar setiap pekannya. Dukungan dari keluarga besar Griya Patria pun
sangat baik di setiap kegiatan yang dibuat, hingga akhirnya rumah ini
diperkenalkan.
Dengan modal
nekat dan keyakinan bertumbuh, mas Anda mulai menghidupkan kembali rumah yang
sudah 13 tahun kosong itu dibantu beberapa kawan. Salah satunya, Sekar, sarjana
Sastra Jawa Universitas Indonesia yang sebelumnya juga membantu sebagai barista
di Kedai Beto. Namun, di perjalanannya, bala bantuan semakin banyak yang
datang, mulai dari membantu tenaga hingga materi.
Perabot dan
barang-barang yang dipakaipun mereka manfaatkan dari sampah dan barang bekas
tidak terpakai untuk diolah kembali. Sementara untuk dekorasi dinding, mereka
isi dengan mural yang juga digambar sendiri. "Untuk menghemat budget,
sekaligus berupaya melestarikan kekunoan dalam kekinian," katanya.
Hasilnya, rumah selesai direnovasi dalam waktu tiga pekan, "kami ingin
membuktikan bahwa keyakinan & kerja keras adalah modal yang utama."
Di rumah yang
baru, pria berusia 35 tahun ini berharap bisa memberikan ruang lebih luas untuk
siapa saja yang ingin saling belajar budaya. Tak hanya soal adat istiadat ,
tapi juga saling berinterkasi, dan mengembangkan bakat secara langsung lintas
generasi.
Ia juga ingin
filosofi kedai Beto masih bisa didapat di rumah Wulangreh. "Beto itu
artinya membawa. Jadi saya pengin semua yang datang ke sini, pulang membawa
sesuatu. Bisa beto makanan, minuman, buku, ilmu, pengalaman atau bahkan kawan
baru," katanya.
Total ada
lima ruangan yang bisa disewa sebagai tempat berkegiatan. Masing-masing ruangan
dihias dengan konsep pewayangan, punakawan. Tercatat sudah banyak kelas digelar
di sana, seperti kelas aksara nusantara, kelas bahasa lokal, kelas macapat,
kelas tari, kelas karawitan, pencak estri, jemparingan hingga kelas filsafat
nusantara yang pernah diisi oleh sejumlah dosen dan budayawan seperti Ki Sinung
dan Abdullah Wong. Di luar kegiatan budaya, Wulangreh juga bekerja sama dengan
Yayasan Yoga Nusantara, Aquatic baby, dan Aquarobic memanfaatkan kolam renang
serta halaman belakang wulangreh untuk berkegiatan.
Selain itu kegiatan
diskusi bertajuk jagongan dan workshop dengan tema beragam juga rutin
dilaksanakan. Seperti hari saat saya berkunjung (13 Juli 2018), sedang ada
jagongan dengan tema olah tubuh dalam tari jawa.
Pembicaranya,
salah satu mahasiswi yang sedang mengambil master bidang Seni dan
Pertunjukan di Universitas Gajah Mada. "Diskusi ini
menarik, selain membuktikan bahwa masih banyak orang yang peduli dengan budaya
asli Indonesia, di sini saya dibuat kagum dengan sikap saling menghargai.
Karena tamu yang lebih tua tidak risih mendengarkan materi dari teman-teman
yang masih muda," ucap Gani, salah satu peserta jagongan.
Kalau soal
menu, lanjut Gani, semua menarik. Apalagi menu minumannya, sebab menurut dia
minuman yang ditawarkan tak mudah ditemui di tempat lain. "Karena yang
classic is good," ungkapnya.
Makanan yang
dipilih untuk mengisi daftar menu di resto rumah ini memang benar-benar lokal,
mulai dari camilan cireng, pisang goreng, klepon, seblak hingga menu utama
seperti ayam bakar, nasi goreng kampung, nasi angkringan dan salad yang
sayurannya hasil kebun organik sendiri. Minuman yang tersedia pun tak kalah
menarik, mulai dari teh kuno, kopi tubruk, olahan madu baduy dan es kuwut bali.
"Semacam pasar dicampur sekolah budaya lah," celetuk mas Anda sambil
tertawa.
*Tulisan ini sudah pernah dipublish di Majalah Adiluhung tahun lalu (tapi lupa edisi yang mana :p)
-->
-->
Comments
Post a Comment